AL-FATTAH




Idrisiyyah adalah sebuah pergerakan dan bimbingan Islam yang bermanhaj Tarekat dengan Al-Quran dan As-Sunah sebagai sumber ajarannya



P  r  o  f  i  l      T  a  r  e  k  a  t
I D R I S I Y Y A H



Dengarkan kajian islam secara lang-
sung setiap malam jum'at dan malam
ahad di http://radio.idrisiyyah.or.id



Facebook : idrisiyyahID
Twitter     : @idrisiyyahID
Instagram: idrisiyyahID



Saksikan  rekaman tausiyah  Syekh
Muh. Fathurahman  serta  rekaman
kegiatan  Al-Idrisiyyah,   hanya   di
http://youtube.com/idrisiyyahID


Tarekat Al-Idrisiyyah dinisbahkan kepada nama Syekh Ahmad bin Idris al-Fasi al-Hasani (1173 – 1253 H / 1760 - 1837 M). Sebenarnya Tarekat ini berasal dari Tarekat Khidhiriyyah yang berasal dari Nabi Khidir As yang diberikan kepada Syekh Abdul Aziz bin Mas'ud ad-Dabbagh Ra. Setelah Syekh Ahmad bin Idris Ra. Tarekat ini mengalami perkembangan lebih jauh yang melahirkan berbagai jenis Tarekat lainnya, hal ini disebabkan karena beberapa murid Syekh Ahmad bin Idris membuat komunitas Tarekat yang dinisbahkan kepadanya dan mengembangkan ajarannya menjadi suatu sistem ajaran yang lebih spesifik. Oleh karenanya tidaklah heran jika Tarekat Idrisiyyah ini memiliki hubungan yang erat dengan nama-nama Tarekat lainnya, seperti Sanusiyyah, Mirghaniyyah, Rasyidiyyah, Khidhiriyyah, Syadziliyyah, Dandarawiyyah, Qadiriyyah. Bahkan Syekh Muhammad bin Ali Sanusi sebagai murid Syekh Ahmad bin Idris menguasai 40 Thariqat yang dikumpulkan dalam sebuah masterpiece-nya 'Salsabil Mu'in fi Tharaa-iqul Arba'iin. Istilah 40 Thariqat dari kitab ini mengilhami istilah Thariqah Mu'tabarah (diakui) di Indonesia (yang berjumlah 40).

Daftar isi

Sanad Tarekat Al-Idrisiyyah

Syekh Ahmad bin Idris berguru kepada Syekh Abdul Wahab at-Tazi, yang merupakan murid Syekh Abdul Aziz az-Dabbagh, pengarang kitab Al-Ibriz. Awrad terkenal yang diajarkan oleh Syekh Ahmad bin Idris kepada murid-muridnya adalah berupa hizib-hizib, di antaranya adalah Hizib Sayfi yang diperolehnya dari Syekh al-Mujaidiri, yang didapatnya dari seorang Raja Jin, dari Sayidina Ali Karramallahu Wajhah. Selain itu Dia diajarkan seluruh awrad Syadziliyyah dari Rasulullah Saw melalui perantara Nabi Khidir As. Namun yang masih eksis diamalkan oleh penganut Tarekat Idrisiyyah adalah Shalawat 'Azhimiyyah, Istighfar Kabir dan Dzikir Makhshus.
Sanad Tarekat Al-Idrisiyyah terkenal sangat ringkas, karena menggunakan jalur Nabi Khidhir As hingga Nabi Muhammad Saw. Sedangkan jalur pengajaran syari'at Tarekat ini menggunakan jalur Syekh Abdul Qadir al-Jailani Qs. hingga kepada Sayidina Hasan Ra.

Tarekat Al-Idrisiyyah di Indonesia

Tarekat Al-Idrisiyyah yang dikenal di Indonesia adalah Tarekat yang dibawa oleh Syekh al-Akbar Abdul Fattah pada tahun 1930, yang sebelumnya bernama Tarekat Sanusiyyah. Syekh al-Akbar Abdul Fattah menerimanya dari Syekh Ahmad Syarif as-Sanusi al-Khathabi al-Hasani di Jabal Abu Qubais, Mekah. Saat ini kepemimpinan Tarekat Al-Idrisiyyah diteruskan oleh Syekh Muhammad Fathurahman, MAg.
Tarekat ini menekankan aspek lahir dan batin dalam ajarannya. Penampilan lahiriyyah ditunjukkan oleh penggunaan atribut dalam berpakaian. Kaum laki-laki berjenggot, berghamis putih, bersurban, dan berselendang hijau. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan cadar hitam. Jama'ahnya menjauhi perkara haram dan makruh seperti merokok. Adapun dalam aspek peribadatannya senantiasa mendawamkan salat berjama'ah termasuk salat sunnahnya. Sujud syukur setelah salat fardhu dikerjakan secara istiqamah.
Tarekat Al-Idrisiyyah lebih dikenal di Malaysia daripada di Indonesia, karena banyak berafiliasi dengan Tarekat lain (seperti TQN). Ada Tarekat Qadiriyyah Idrisiyyah atau Ahmadiyyah al-Idrisiyyah. Nama Ahmadiyyah diambil dari nama depan Syekh Ahmad bin Idris. Ketika masuk ke Indonesia, karena alasan politis nama Tarekat Sanusiyyah berganti dengan nama Idrisiyyah. Mengingat pergerakan Sanusiyyah saat itu telah dikenal oleh para penjajah Barat.

Awrad dan Dzikir

Kebiasaan dzikir yang biasa dilakukan oleh jama'ah Al-Idrisiyyah adalah di setiap waktu ba'da Maghrib hingga Isya dan ba'da Shubuh hingga Isyraq. Pelaksanaan dzikir di Tarekat ini dilakukan dengan jahar (suara nyaring), diiringi lantunan shalawat (kadang-kadang dalam moment tertentu dengan musik). Kitab panduan Awrad dzikirnya bernama 'Hadiqatur Riyahin' yang merupakan khulashah (ringkasan) awrad pilihan (utama) dari berbagai amalan (awrad) Syekh Ahmad bin Idris dan Sadatut Thariqah lainnya. Awrad wajib harian seorang murid Idrisiyyah adalah:
  1. Membaca Al-Quran satu Juz,
  2. Membaca Itighfar Shagir 100 kali,
  3. Membaca Dzikir Makhshush 300 kali: Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rosulullah fii kulli lamhatin wanafasin 'adada maa wasi'ahuu 'ilmullah.
  4. Membaca Sholawat Ummiyyah 100 kali,
  5. Membaca Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum 1000 kali,
  6. Membaca Dzikir Mulkiyyah 100 kali: Laa Ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa 'alaa kulli syay-in qodiir.
  7. Memelihara Ketaqwaan.
Awrad tambahan untuk bertaqaarub kepada Allah adalah menunaikan salat tahajjud dan membaca Sholawat 'Azhimiiyyah sebanyak 70 kali sesudah ba'da Shubuh hingga terbit Fajar.

Pengajian/Pertemuan Rutin

Diperkirakan ada sekitar 70.000 orang lebih jama'ah Idrisiyyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Tarekat Idrisiyyah yang dipimpin oleh Syekh Muhammad Fathurahman secara rutin mengadakan kegiatan pertemuan seluruh Santri sebanyak 3 kali dalam setahun di Ponpes Al-Idrisiyyah di Tasikmalaya.
Pengajian rutin majelis Taklim dan Dzikir Al-Idrisiyyah dapat diikuti setiap malam Jumat (Tasikmalaya) dan hari Ahad (Jakarta). Pengajian diawali dengan Kajian Al-Quran & Fiqih. Materi pengajian biasanya membahas topik kekinian (kontekstual). Setiap majelis senantiasa ditutup dengan do'a dan mushafahah (bersalaman).

Gelar Pemimpin Tarekat Al-Idrisiyyah

Pemimpin Tarekat Al-Idrisiyyah ini mendapat gelar dari Rasulullah Saw (secara ruhani) yaitu: 'Syekh al-Akbar'. Kemudian pada masa kepemimpinan Syekh al-Akbar Muhammad Daud Dahlan Ra. mendapatkan tambahan 'Muhyiddin' dari Dia Saw. Begitu pula pelimpahan mandat kekhalifahan Tarekat Idrisiyyah selalu diinformasikan secara ruhaniyyah, dengan wasilah petunjuk Rasulullah Saw melalui Guru Mursyid sebelumnya.

Pengertian Muhyiddin

Istilah Muhyiddin dalam kepemimpinan Thariqah al-Idrisiyyah ini diberikan oleh Rasulullah Saw melalui Nabi Khidhir As. Bahkan semua Ulama yang dimasyhurkan namanya karena memperjuangkan nilai-nilai Sunnah diberikan gelar itu dari Dia Saw. Penyematan gelar itu ditandai dengan kondisi umat yang semakin jauh dari Sunnah Nabi Saw, yang dibawa oleh para Pewarisnya. Ketika Sunnah sudah dianggap asing dan aneh, maka muncullah sosok Muhyiddin yang menghidupkan kembali Sunnah-sunnah tersebut.

Petikan Ungkapan Asy-Syekh Al-Akbar

Di antara petikan ungkapan Syekh al-Akbar adalah bahwa Rasulullah hanya diperintahkan menyampaikan ajaran Islam, tetapi tidak bersifat memaksa orang untuk mengikuti ajarannya, karena petunjuk (hidayah) itu hanya milik Allah. Orang kafir belum tentu konsisten dengan kekafirannya, dan orang yang beriman belum tentu konsisten dengan keimanannya. Umat Islam tidak boleh egois dengan keislamannya, karena Dienul Islam bukan diperuntukkan buat umat Islam saja, tapi untuk seluruh umat.
Syekh al-Akbar memandang perlunya reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an maupun Hadits. Tafsir-tafsir ulama yang dahulu tidak cukup untuk mengatasi problem dunia saat ini. Ia mengakui bahwa orang seperti Imam Syafi adalah manusia brilian di zamannya, tetapi zaman yang kita hadapi sekarang berbeda dengan zamannya.
Seorang muslim mesti membawa karakter dan perilaku agama yang dibawanya, yakni Islam. Arti Islam adalah keselamatan. Maka, orang Islam mesti membawa nilai-nilai keselamatan dalam berbagai aspek kehidupannya. Islam membijaki keselamatan diri dan orang lain. Inilah yang dinamakan konsep Rahmatan lil 'Alamin [Islam membawa rahmat (kasih sayang) kepada seluruh makhluk alam]. Jika seorang muslim membawa kecelakaan atau kebinasaan orang lain tanpa hak, maka tidak pantas istilah muslim itu disandarkan atas dirinya.

Dienul Islam adalah Birokrasi Ilahiyyah

Dia orang yang pertama mengungkapkan bahwa Dienul Islam adalah Birokrasi Ilahiyyah. Dalam pengertian bahwa kepemimpinan, ajaran, nilai-nilai, tatanan kehidupan yang memiliki hubungan yang tiada putus sejak manusia pertama yang dipilih-Nya, yakni Adam As hingga saat ini. Kelanjutan sistem ini ditandai dengan legitimasi ungkapan Nabi terakhir, yaitu Al-'Ulama Waratsatul Anbiya. Al'Ulama tidak identik (sama) dengan orang pintar (cendekiawan). Tidak semua Ulama yang diwarisi cahaya kenabian. Hanya 'Ulama tertentu saja yang memiliki hubungan erat secara lahiriyyah maupun batiniyyah di setiap masa.






































































Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASJID AL-FATTAH

MASJID